Blogroll

Rabu, 11 April 2012

NDP LAMA VS NDP BARU

HMI; NDP Lama VS NDP Baru
Adanya kasus pemukulan yang terjadi pada kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-XXVI di Palembang, sebagai salah satu kader HMI merasa cukup kecewa. Terjadinya pertengkaran fisik yang dilatarbelakangi oleh perdebatan seputar Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI tersebut mencirikan bahwa pihak yang bersangkutan masih sangat kurang dalam menghargai forum tertinggi di HMI. HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa Islam seharusnya mampu memberikan contoh yang baik untuk organisasi yang lain.

Terlebih sebagai salah satu organisasi mahasiswa paling tua di Indonesia. Insiden tersebut tidak seharusnya terjadi, mengingat HMI sebagai organisasi pelopor gerakan intelektual. Perdebatan mengenai NDP lama atau baru yang akan dipakai di HMI, seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang lebih rasional dan inklusif.

 Sejarah NDP HMI
Sebelum dirumuskannya nilai-nilai dasar perjuangan, HMI menggunakan Garis Perjuangan Pedoman Organisasi (GPPO) sebagai pedoman perjuangan organisasi. NDP pada dasarnya merupakan tafsiran terhadap salah satu pasal yang terdapat dalam Anggaran Dasar HMI (AD HMI), yang menyatakan bahwa HMI berazaskan Islam. Menurut Endang Saifuddin Anshari, NDP yang selama ini digunakan oleh HMI merupakan penafsiran HMI terhadap Islam yang dibuat oleh Cak Nur pada waktu itu (ESA, 1973). Dalam kongres HMI ke-IX di Malang, setelah adanya kesepakatan mengenai NDP HMI, Cak Nur bersama Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Machmud diberikan mandat untuk melakukan penyempurnaan terhadap NDP HMI. Hal tersebut dilakukan dengan tetap mengindahkan beberapa masukan serta saran dari peserta lainnya. Pada saat itu Endang Saifuddin Anshari, yang sekaligus selaku pimpinan dalam sidang pembahasan NDP mengusulkan untuk diadakannya sebuah buku pengantar tentang studi Islam. Karena dia merasa bahwa NDP terlalu berat bagi anggota HMI, terlebih bagi para anggota baru.
Sebelum menjadi NDP, terdapat dua usulan judul naskah yang disampaikan oleh Endang Saifuddin Anshari, “Islam sebagai Nilai-nilai Dasar Perjuangan” dan Nilai-nilai Dasar Perjuangan Islam”. Pada waktu itu antara Cak Nur, Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Machmud memilih judul yang kedua. Namun disebabkan beberapa hal yang tidak mereka ketahui, judul tersebut berubah menjadi “Nilai-nilai Dasar Perjuangan”. Sebagaimana kekurangpuasan yang dirasakan oleh Endang, Cak Nur pun merasa kurang bersemangat untuk merealisasikan beberapa hasil kongres yang diamanatkan kepadanya. NDP HMI juga pernah mengalami perubahan nama menjadi “Nilai Identitas Kader” (NIK), meskipun selanjutnya kembali menjadi NDP lagi.
Sejarah dari NDP inilah yang kurang dipahami oleh beberapa anggota HMI sekarang, padahal sejarah itu juga penting. Apalagi yang menyangkut perumusan dari sebuah pedoman organisasi.
Versi NDP
HMI sekarang memiliki dua versi NDP, versi Cak Nur (hasil kongres ke-IX di Malang) dan hasil kongres HMI ke-XXV tahun 2006 di Makasar. Secara substansial isi dari masing-masing versi NDP tersebut sama. NDP versi Cak Nur memuat delapan bab pembahasan seputar: Dasar-dasar Kepercayan, Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup. Sedangkan NDP “baru” memuat beberapa bab antara lain: Landasan dan Kerangka Berfikir, Dasar-dasar Kepercayaan, Hakekat Penciptaan dan Eskatologi, Manusia Dan Nilai-nilai Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keniscayaan Universal (Takdir) Ikhtiar (berusaha) ,Individu dan Masyarakat , Keadilan Sosial serta Ekonomi dan Sains Islam.
Secara universal, substansi yang terkandung dalam NDP baik yang lama maupun baru adalah sama. Persoalan yang muncul adalah perbedaan penggunaan metode dalam memahami saja. Ada yang menganggap terlalu berat ketika menggunakan pendekatan secara filosofis, ada pula yang mengatakan pendekatan melalui filsafat tidak terlalu berat.
Apapun pendekatan yang digunakan, mungkin perlu pengkajian ulang terhadap format dalam penyampaian NDP. Sehingga tidak sampai memunculkan polemik seperti insiden yang terjadi di Palembang. Cak Nur sendiri mengatakan bahwa NDP harus dijelaskan dengan menggunakan metode dan cara penyampaian yang sesederhana mungkin. Mengapa dipersulit!
Memahami kembali NDP HMI
NDP HMI itu mengandung muatan-muatan yang sangat substansial, tentang ke-Tuhanan dan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah dirumuskan Cak Nur dan kawan-kawan. Islam itu universal, jadi sangat luas pemaknaannya, sehingga membutuhkan alat untuk menjelaskannya. Islam yang sangat universal tersebut, dalam konteks organisasi mencoba untuk diterjemahkan melalui NDP. Dalam konteks sekarang, seluruh anggota HMI perlu memahami kembali AD/ART organisasinya. Sehingga tidak terjebak dalam memperdebatkan landasan nilai sebuah organisasi. Apalagi sampai pertengkaran secara fisik. Pemahaman terhadap nilai-nilai organisasi tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal.
Pertama, HMI harus dapat membedakan dalam beberapa hal terkait nilai-nilai organisasi yang bersifat statis dan dinamis. Muatan yang dijelaskan dalam NDP HMI itu adalah hal menyangkut iman, ilmu, dan amal. Iman, ilmu dan amal secara konsep itu sifatnya universal, bisa diterima oleh siapapun, bahkan bagi orang di luar anggota HMI. Hal yang dapat diterima keuniversalannya sifatnya statis atau tetap, bukan dinamis. Untuk mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada anggota HMI, maka dibutuhkan sebuah alat serta metode. NDP HMI dapat dikatakan sebagai alatnya, dan metodenya bisa secara filosofis atau yang lainnya. Metode serta strategi dalam menyampaikan NDP kepada anggota HMI memang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena hal ini bersifat dinamis maka si pemateri NDP harus mampu menguasai NDP dengan benar serta memiliki banyak metode maupun strategi dalam menyampaikan materinya.
Kedua, setelah HMI mampu membedakan manakah hal yang tetap dan berubah, HMI harus mampu mengkontekstualisasikan dengan arah perjuangan organisasi yang pada nantinya akan diaktualisasikan. NDP HMI, dirubah ataupun tidak, jika kadernya tidak ada yang sholat atau ngaji, kan sama saja bohong. NDP itu harus dipahami dulu dengan benar kemudian diaktualisasikan. Setelah diaktualisasikan baru akan kelihatan manakah yang masih relevan dan harus dirubah. Kebanyakan anggota HMI, paham saja belum tentang NDP HMI, kok main ganti seenaknya. Sebagian peserta kongres yang hadir di Palembang jangan-jangan banyak yang belum paham dengan NDP HMI. itu juga persoalan! Sekali lagi, HMI adalah organisasi mahasiswa Islam, wadah di mana kader umat dan kader bangsa digembleng secara intelektual. Bukan untuk bertengkar yang tidak produktif. Sedikit-sedikit perang fisik. Identitas yang melekat di HMI sebagai agent of sosial change, agent of sosial control dengan sendirinya akan memudar, jika selama terjadi kebuntuan dalam kesepakatan selalu diakhiri dengan pertengkaran secara fisik.
Sebagai salah satu dari sekian banyak intelegensia, wacana saja tidak cukup dalam menyelesaikan persoalan. Kebutuhan terhadap pengaktualisasian dari setiap gagasan yang muncul di HMI, itulah yang dapat diberikan koreksi, bukan malah sibuk mengoreksi hal yang belum secara utuh dipahami, terlebih dilaksanakan dengan benar.
Ketiga, sikap inklusifitas yang terdapat di HMI seharusnya menjadi salah satu modal dalam menentukan keabsahan sebuah kesepakatan (pengetahuan yang benar). Ilmu itu, dari manapun datangnya bisa diterima. Penerapan pada wilayah aksiologi dari keilmuan yang ada, itulah yang membutuhkan filter. Terkadang HMI masih terjebak dalam wilayah egoisme intelektual. Kurang bisa mendengarkan dan memahami pendapat orang lain, terlebih mensepakatinya, merupakan gejala semakin menurunnya kadar intelektualitas di HMI. Budaya merasa diri paling tahu itulah yang harus dibuang sejauh mungkin dari HMI.
Kembali kepada pemahaman terhadap NDP yang telah melahirkan persoalan di internal HMI. Nilai-nilai dasar perjuangan HMI yang kalau memang dirasa berat oleh anggota dalam memahaminya, mengapa tidak dibujat saja buku lain tentang penjelasan NDP. Apakah sudah bisa mengakomodir ketidakpahaman anggota HMI ketika secara redaksional NDP “lama” harus ditambahkan dengan metode baru? Apakah sudah dibedakan dengan benar antara hal yang bersifat substansial dan partikular dalam NDP HMI?
Menurut hasil terakhir kongres di Palembang, dengan dibentuknya team khusus untuk membahas kembali NDP, diharapkan dapat ditemukan sebuah formula yang tepat. Dengan demikian anggota HMI yang berada di “bawah” tidak lagi merasa kebingungan sampai banyak yang harus ikut berangkat dalam acara kongres di palembang.
Pengabdian dan Keikhlasan
Inti dari NDP adalah seperti yang telah dikemukakan di muka, yakni iman, ilmu dan amal. HMI merupakan organisasi dengan azas Islam, yang memiliki fungsi serta peran sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Mengutip seperti yang pernah disampaikan oleh Khumaidi Syarif Romas (Bang Hum) selaku mantan ketua umum PB HMI, “di HMI itu yang masih kurang adalah pengabdiannya. Yang selama ini terjadi adalah kalau tidak terkait dengan kekuasan ya kepentingan lainnya”. Bahkan Cak Nur pun pernah mengusulkan untuk dibubarkannya HMI. Jelas sekali bahwa memang HMI harus menyadari kekurangannya selama ini. HMI harus konsisten terhadap komitmennya terhadap keikhlasan dalam sebuah pengabdian untuk Islam dan Negara, bukan malah sibuk dengan urusan internal yang tak kunjung seAlesai.
Semoga apa yang telah dirumuskan selama pembahasan dalam kongres HMI di Palembang menghasilkan suatu dampak yang positif bagi anggota HMI khususnya, serta umat dan Negara pada umumnya. Memang HMI adalah organisasi mahasiswa, bukan paguyuban. Namun tidak menutup kemungkinan akan lebih dibutuhkan paguyuban dari pada HMI jika HMI. Teringat akan perkataan seorang sejarahwan sekaligus mantan Ketua Umum PB HMI dalam dua periode yakni Kakanda Nurcholis Madjid, KALAU HMI TIDAK MAU MERUBAH SIFATNYA BUBARKAN SAJA AGAR TIDAK MENJADI ORGANISASI YANG DILAKNAT ALLAH SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar