HMI; NDP Lama VS NDP Baru
Adanya kasus pemukulan yang terjadi pada kongres
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-XXVI di Palembang, sebagai salah satu kader
HMI merasa cukup kecewa. Terjadinya pertengkaran fisik yang dilatarbelakangi
oleh perdebatan seputar Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI
tersebut mencirikan bahwa pihak yang bersangkutan masih sangat kurang dalam
menghargai forum tertinggi di HMI. HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa
Islam seharusnya mampu memberikan contoh yang baik untuk organisasi yang lain.
Terlebih sebagai salah satu organisasi mahasiswa paling tua di Indonesia. Insiden tersebut tidak seharusnya terjadi, mengingat HMI sebagai organisasi pelopor gerakan intelektual. Perdebatan mengenai NDP lama atau baru yang akan dipakai di HMI, seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang lebih rasional dan inklusif.
Terlebih sebagai salah satu organisasi mahasiswa paling tua di Indonesia. Insiden tersebut tidak seharusnya terjadi, mengingat HMI sebagai organisasi pelopor gerakan intelektual. Perdebatan mengenai NDP lama atau baru yang akan dipakai di HMI, seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang lebih rasional dan inklusif.
Sejarah NDP HMI
Sebelum dirumuskannya nilai-nilai dasar perjuangan,
HMI menggunakan Garis Perjuangan Pedoman Organisasi (GPPO) sebagai pedoman
perjuangan organisasi. NDP pada dasarnya merupakan tafsiran terhadap salah satu
pasal yang terdapat dalam Anggaran Dasar HMI (AD HMI), yang menyatakan bahwa
HMI berazaskan Islam. Menurut Endang Saifuddin Anshari, NDP yang selama ini
digunakan oleh HMI merupakan penafsiran HMI terhadap Islam yang dibuat oleh Cak
Nur pada waktu itu (ESA, 1973). Dalam kongres HMI ke-IX di Malang, setelah
adanya kesepakatan mengenai NDP HMI, Cak Nur bersama Endang Saifuddin Anshari
dan Sakib Machmud diberikan mandat untuk melakukan penyempurnaan terhadap NDP
HMI. Hal tersebut dilakukan dengan tetap mengindahkan beberapa masukan serta
saran dari peserta lainnya. Pada saat itu Endang Saifuddin Anshari, yang
sekaligus selaku pimpinan dalam sidang pembahasan NDP mengusulkan untuk
diadakannya sebuah buku pengantar tentang studi Islam. Karena dia merasa bahwa
NDP terlalu berat bagi anggota HMI, terlebih bagi para anggota baru.
Sebelum menjadi NDP, terdapat dua usulan judul naskah
yang disampaikan oleh Endang Saifuddin Anshari, “Islam sebagai Nilai-nilai
Dasar Perjuangan” dan Nilai-nilai Dasar Perjuangan Islam”. Pada waktu itu
antara Cak Nur, Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Machmud memilih judul yang
kedua. Namun disebabkan beberapa hal yang tidak mereka ketahui, judul tersebut
berubah menjadi “Nilai-nilai Dasar Perjuangan”. Sebagaimana kekurangpuasan yang
dirasakan oleh Endang, Cak Nur pun merasa kurang bersemangat untuk
merealisasikan beberapa hasil kongres yang diamanatkan kepadanya. NDP HMI juga
pernah mengalami perubahan nama menjadi “Nilai Identitas Kader” (NIK), meskipun
selanjutnya kembali menjadi NDP lagi.
Sejarah dari NDP inilah yang kurang dipahami oleh
beberapa anggota HMI sekarang, padahal sejarah itu juga penting. Apalagi yang
menyangkut perumusan dari sebuah pedoman organisasi.
Versi NDP
HMI sekarang memiliki dua versi NDP, versi Cak Nur (hasil
kongres ke-IX di Malang) dan hasil kongres HMI ke-XXV tahun 2006 di Makasar.
Secara substansial isi dari masing-masing versi NDP tersebut sama. NDP versi
Cak Nur memuat delapan bab pembahasan seputar: Dasar-dasar Kepercayan,
Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia dan
Keharusan Universal, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan, Individu dan
Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu
Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup. Sedangkan NDP “baru” memuat
beberapa bab antara lain: Landasan dan Kerangka Berfikir, Dasar-dasar
Kepercayaan, Hakekat Penciptaan dan Eskatologi, Manusia Dan
Nilai-nilai Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keniscayaan Universal
(Takdir) Ikhtiar (berusaha) ,Individu dan Masyarakat , Keadilan Sosial serta
Ekonomi dan Sains Islam.
Secara universal,
substansi yang terkandung dalam NDP baik yang lama maupun baru adalah sama.
Persoalan yang muncul adalah perbedaan penggunaan metode dalam memahami saja.
Ada yang menganggap terlalu berat ketika menggunakan pendekatan secara
filosofis, ada pula yang mengatakan pendekatan melalui filsafat tidak terlalu
berat.
Apapun
pendekatan yang digunakan, mungkin perlu pengkajian ulang terhadap format dalam
penyampaian NDP. Sehingga tidak sampai memunculkan polemik seperti insiden yang
terjadi di Palembang. Cak Nur sendiri mengatakan bahwa NDP harus dijelaskan
dengan menggunakan metode dan cara penyampaian yang sesederhana mungkin.
Mengapa dipersulit!
Memahami kembali NDP HMI
NDP HMI itu mengandung muatan-muatan yang sangat
substansial, tentang ke-Tuhanan dan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah
dirumuskan Cak Nur dan kawan-kawan. Islam itu universal, jadi sangat luas
pemaknaannya, sehingga membutuhkan alat untuk menjelaskannya. Islam yang sangat
universal tersebut, dalam konteks organisasi mencoba untuk diterjemahkan
melalui NDP. Dalam konteks sekarang, seluruh anggota HMI perlu memahami kembali
AD/ART organisasinya. Sehingga tidak terjebak dalam memperdebatkan landasan
nilai sebuah organisasi. Apalagi sampai pertengkaran secara fisik. Pemahaman
terhadap nilai-nilai organisasi tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal.
Pertama, HMI harus dapat membedakan
dalam beberapa hal terkait nilai-nilai organisasi yang bersifat statis dan
dinamis. Muatan yang dijelaskan dalam NDP HMI itu adalah hal menyangkut iman,
ilmu, dan amal. Iman, ilmu dan amal secara konsep itu sifatnya universal, bisa
diterima oleh siapapun, bahkan bagi orang di luar anggota HMI. Hal yang dapat
diterima keuniversalannya sifatnya statis atau tetap, bukan dinamis. Untuk
mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada anggota HMI, maka dibutuhkan
sebuah alat serta metode. NDP HMI dapat dikatakan sebagai alatnya, dan
metodenya bisa secara filosofis atau yang lainnya. Metode serta strategi dalam
menyampaikan NDP kepada anggota HMI memang harus disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang ada. Karena hal ini bersifat dinamis maka si pemateri NDP
harus mampu menguasai NDP dengan benar serta memiliki banyak metode maupun
strategi dalam menyampaikan materinya.
Kedua, setelah HMI mampu
membedakan manakah hal yang tetap dan berubah, HMI harus mampu
mengkontekstualisasikan dengan arah perjuangan organisasi yang pada nantinya
akan diaktualisasikan. NDP HMI, dirubah ataupun tidak, jika kadernya tidak ada
yang sholat atau ngaji, kan sama saja bohong. NDP itu harus dipahami
dulu dengan benar kemudian diaktualisasikan. Setelah diaktualisasikan baru akan
kelihatan manakah yang masih relevan dan harus dirubah. Kebanyakan anggota HMI,
paham saja belum tentang NDP HMI, kok main ganti seenaknya. Sebagian peserta
kongres yang hadir di Palembang jangan-jangan banyak yang belum paham dengan
NDP HMI. itu juga persoalan! Sekali lagi, HMI adalah organisasi mahasiswa
Islam, wadah di mana kader umat dan kader bangsa digembleng secara intelektual.
Bukan untuk bertengkar yang tidak produktif. Sedikit-sedikit perang fisik.
Identitas yang melekat di HMI sebagai agent of sosial change, agent of
sosial control dengan sendirinya akan memudar, jika selama terjadi
kebuntuan dalam kesepakatan selalu diakhiri dengan pertengkaran secara fisik.
Sebagai salah satu dari sekian banyak intelegensia,
wacana saja tidak cukup dalam menyelesaikan persoalan. Kebutuhan terhadap
pengaktualisasian dari setiap gagasan yang muncul di HMI, itulah yang dapat
diberikan koreksi, bukan malah sibuk mengoreksi hal yang belum secara utuh
dipahami, terlebih dilaksanakan dengan benar.
Ketiga, sikap inklusifitas yang
terdapat di HMI seharusnya menjadi salah satu modal dalam menentukan keabsahan
sebuah kesepakatan (pengetahuan yang benar). Ilmu itu, dari manapun datangnya
bisa diterima. Penerapan pada wilayah aksiologi dari keilmuan yang
ada, itulah yang membutuhkan filter. Terkadang HMI masih terjebak
dalam wilayah egoisme intelektual. Kurang bisa mendengarkan dan
memahami pendapat orang lain, terlebih mensepakatinya, merupakan gejala semakin
menurunnya kadar intelektualitas di HMI. Budaya merasa diri paling tahu itulah
yang harus dibuang sejauh mungkin dari HMI.
Kembali kepada pemahaman terhadap NDP yang telah
melahirkan persoalan di internal HMI. Nilai-nilai dasar perjuangan HMI yang
kalau memang dirasa berat oleh anggota dalam memahaminya, mengapa tidak dibujat
saja buku lain tentang penjelasan NDP. Apakah sudah bisa mengakomodir
ketidakpahaman anggota HMI ketika secara redaksional NDP “lama” harus
ditambahkan dengan metode baru? Apakah sudah dibedakan dengan benar
antara hal yang bersifat substansial dan partikular dalam NDP HMI?
Menurut hasil terakhir kongres di Palembang, dengan
dibentuknya team khusus untuk membahas kembali NDP, diharapkan dapat ditemukan
sebuah formula yang tepat. Dengan demikian anggota HMI yang berada di “bawah”
tidak lagi merasa kebingungan sampai banyak yang harus ikut berangkat dalam
acara kongres di palembang.
Pengabdian dan Keikhlasan
Inti dari NDP adalah seperti yang telah dikemukakan di muka,
yakni iman, ilmu dan amal. HMI merupakan organisasi dengan azas Islam, yang
memiliki fungsi serta peran sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan.
Mengutip seperti yang pernah disampaikan oleh Khumaidi Syarif Romas (Bang Hum)
selaku mantan ketua umum PB HMI, “di HMI itu yang masih kurang adalah
pengabdiannya. Yang selama ini terjadi adalah kalau tidak terkait dengan
kekuasan ya kepentingan lainnya”. Bahkan Cak Nur pun pernah mengusulkan
untuk dibubarkannya HMI. Jelas sekali bahwa memang HMI harus menyadari
kekurangannya selama ini. HMI harus konsisten terhadap komitmennya terhadap
keikhlasan dalam sebuah pengabdian untuk Islam dan Negara, bukan malah sibuk
dengan urusan internal yang tak kunjung seAlesai.
Semoga apa yang telah dirumuskan selama pembahasan dalam
kongres HMI di Palembang menghasilkan suatu dampak yang positif bagi anggota
HMI khususnya, serta umat dan Negara pada umumnya. Memang HMI adalah organisasi
mahasiswa, bukan paguyuban. Namun tidak menutup kemungkinan akan lebih
dibutuhkan paguyuban dari pada HMI jika HMI. Teringat akan perkataan seorang
sejarahwan sekaligus mantan Ketua Umum PB HMI dalam dua periode yakni Kakanda
Nurcholis Madjid, KALAU HMI TIDAK MAU MERUBAH SIFATNYA BUBARKAN SAJA AGAR TIDAK
MENJADI ORGANISASI YANG DILAKNAT ALLAH SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar